Kelahiran 1902

Ahmad Badawi
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1962-1965.

KH Ahmad Badawi (lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1902 – meninggal di Yogyakarta, 25 April 1969 pada umur 67 tahun), adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965.

Pendidikan
Santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, 1908-1913.
Santri di Pondok Pesantren Termas, Pacitan (K.H. Dimyati), 1913-1915.
Santri di Pondok Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan, 1915-1920.
Santri di Pondok Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921
Madrasah Muhammadiyah Standaarschool.

Karier
Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963).
Imam III Angkatan Perang Sabil (APS), 1947-1949.
Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta, 1950.
Anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1968.

Karya
Pengadjian Rakjat
Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa)
Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa)
Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa)
Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa)
Miah Hadits (bahasa Arab)
Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab)
Qawaidul-Chams (bahasa Arab)
Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia)
Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).

Bahder Djohan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo.
Bahder Djohan (lahir di Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat, 30 Juli 1902 – meninggal di Jakarta, 8 Maret 1981 pada umur 78 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo. 

Asal usul
Bahder Djohan merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara pasangan Mohamad Rapal gelar Sutan Boerhanoedin orang Koto Gadang, Agam, dengan Lisah yang berasal dari Alang Laweh, Padang. Ayahnya berprofesi sebagai jaksa. Bahder Djohan menerima gelar Marah Besar pada pernikahannya dengan Siti Zairi Yaman.

Latar belakang
Djohan bersekolah pertama kali pada sekolah Melayu di Kampung Pondok, Padang. Pada tahun 1910, dia pindah sekolah ke Payakumbuh, mengikuti penempatan ayahnya. Pada tahun 1913, Djohan masuk sekolah 1e Klasse Inlandsche School di Bukittinggi. Di kota inilah Djohan berkenalan dengan Mohammad Hatta, yang kelak menjadi sahabat baiknya semasa sekolah maupun perjuangan. Hanya dua tahun ia bersekolah di Bukittinggi, sebelum akhirnya pindah ke HIS Padang. Pada tahun 1917, Djohan menyelesaikan pendidikannya di HIS dan melanjutkan ke MULO di kota yang sama. Tahun 1919, Djohan diterima di STOVIA, Batavia dan tinggal di asrama yang terdapat dalam kompleks sekolah itu. Pendidikan di STOVIA dilaluinya lebih kurang 8 tahun. Pada tanggal 12 November 1927, ia menyelesaikan ujian akhir dan lulus dengan memperoleh gelar “Indish Arts”.

Kehidupan
Pada masa muda, Djohan merupakan salah satu pimpinan Jong Sumatranen Bond. Dia aktif terlibat dalam kepanitiaan Kongres Pemuda. Dalam Kongres Pemuda I, Djohan menyampaikan pidato tentang kedudukan wanita. Pidatonya yang berjudul "Di Tangan Wanita," dilarang beredar oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Setelah periode kemerdekaan, Djohan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Kabinet Natsir (1950-1951) dan Kabinet Wilopo (1952-1953). Pada tahun 1953 dia duduk sebagai direktur RSUP Jakarta (sekarang RSCM). Kemudian Djohan dipilih untuk menjabat Rektor Universitas Indonesia. Namun pada tahun 1958 sebelum masa jabatannya habis, Djohan mengundurkan diri. Dia tak setuju dengan pemerintah, yang menyelesaikan peristiwa PRRI dengan cara peperangan.

Mohammad Hatta
Wakil Presiden Indonesia yang pertama
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Fort de Kock (kini Bukittinggi), Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Namanya pun diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Jakarta yaitu Bandar Udara Soekarno Hatta. Selain diabadikan di Indonesia nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat terpampang di papan nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder yang dibangun pada tahun 1987. Pemberian nama ini ditetapkan oleh pejabat Walikota R.H Claudius dengan alasan bahwa Hatta merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang pernah menimba ilmu di Belanda serta merupakan aktivis Indonesia.

Latar belakang dan pendidikan
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun. Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.

Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. "Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat," aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan. Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, "Namaku Hindania!" begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. "Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku," rutuk Hatta lewat Hindania. Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya. Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta. Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda. Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal. Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free. Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.  Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.

Kehidupan pribadi
Tanggal 18 November 1945 bertempat di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mohammad Hatta mempersunting seorang gadis yang bernama Rahmi Rachim. dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai tiga orang anak.

Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ia disebut sebagai salah seorang bapak bangsa Indonesia. Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta. Setelah perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta, sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua Jong Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda/Eropa yang bernapas demokrasi dan keterbukaan. Keinginan dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia “. Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan banting” karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi. Walau mendapat tekanan, organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925 organisasi ini dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai Pemimpinnya. Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik beratkan kegiatannya dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat akan mampu mencapai kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari propaganda dan profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan. Hingga akhirnya Bunga Karno di tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri. Tak lama setetah PNI (Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebatinan dan mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “. Organisasi ini berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 di antaranya:
Polisi diperintahkan bertindak keras terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan.
27 Juni 1933, pegawai negeri dilarang menjadi anggota PNI Pendidikan.
1 Agustus 1933, diadakan pelarangan rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh Indonesia.
Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap membahayakan seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar yang menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk. Dalam sidang masalah PNI Pendidikan M.Hatta, Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan Murwoto dinyatakan bersalah dan dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan terciptanya ketenangan di daerah jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang begitu besar namun perjuangan Hatta tak hanya sampai disitu, beliau terus berjuang dan salah satu hasil perjuangan Hatta dan para pahlawan lain tersebut adalah kemerdekaan yang telah kita raih dan kita rasakan sekarang. Sebagai tulisan singkat mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai politik yang pernah beliau geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-apa bila kita tak mampu mengambil manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di dunia politik kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam” atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman. Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataanya memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung Hatta kita harus mampu melihat berapa persen di antara tokoh-tokoh, orang-orang penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen di antara mereka yang sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.

Perpustakaan
Perpustakaan Bung Hatta memiliki lebih dari 8.000 buku, terdiri dari Sejarah, Budaya, Politik, Bahasa dan lain-lain. Hal inilah yang turut menyumbang kemampuannya dalam berdiplomasi utnuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Raden Machjar Angga Koesoemadinata
Seniman dan musikolog Sunda
Raden Machjar Angga Koesoemadinata (sering ditulis Kusumadinata, Kusumahdinata, kusumah dinata, Anggakusumadinata; lebih dikenal dengan Pak Machjar atau Pak Mahyar; lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 Desember 1902 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 April 1979 pada umur 76 tahun) adalah seorang seniman dan musikolog Sunda. Ia dikenal sebagai pengarang lagu-lagu Sunda, pendidik yang mengkhususkan diri dalam memajukan pendidikan seni-suara Sunda, peneliti serta ahli teori musik Sunda, pecipta sistem notasi nada Sunda da mi na ti la dan penemu sistem 17 tangga nada Sunda.

Biografi
Pak Machjar yang dimasyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai seorang seniman pencipta lagu-lagu Sunda sebenarnya adalah seorang pendidik dan pakar musikologi, khususnya etnomusikologi yang berspesialisasi dalam pelog dan salendro. Pengetahuannya mengenai seni musik pelog dan salendro didapatkan dari sejak kanak-kanak dengan berguru pada beberapa juru tembang dan nayaga, di antaranya belajar rebab pada nayaga ulung Pak Etjen Basara, Pak Sura dan Pak Natadiredjo, belajar gamelan pada Pak Sai dan Pak Idi, serta belajar tembang pada Pak Oetje juru pantun terkenal di Bandung.
Perkenalan Pak Machjar dengan metoda sains dan ilmu fisika, dan ilmu musik barat terjadi pada waktu ia menjadi murid di sekolah guru (Kweekschool dan Hogere Kweekschool). Dengan dasar ilmu musik barat dan ilmu fisika yang cukup mendalam, ia melakukan pengukuran dan penelitian frekuensi suara-suara dari perangkat gamelan dan lagu-lagu yang dinyanyikan maupun dimainkan pada rebab. Pada tahun 1923 (masih di bangku sekolah) ia telah menciptakan serat kanayagan (notasi tangga nada Sunda) da mi na ti la, serta menulis buku teori seni suara Sunda berjudul ‘Elmuning Kawih Sunda’. Setelah menamatkan HKS dan ditempatkan sebagai guru di HIS Sumedang (1924-1932), ia melanjutkan penelitiannya mengenai teori seni raras. Suatu titik balik penting dalam kariernya sebagai peneliti adalah pertemuannya dengan Mr. Jaap Kunst, seorang etnomusikologi Belanda, antara tahun 1927-1929, yang sedang melakukan penilitian perbagai seni suara seluruh kepulauan Nusantara. Disini terjadi pertukaran ilmu, antara ilmu musik dari Jaap Kunst dan ilmu gamelan atau pelog-salendro dari Pak Machjar. Pada perioda inilah ia memahami lebih dalam konsep getaran suara serta cara mengukurnya dengan instrumen yang menyangkut konversi matematiknya ke sekala musik dengan menggunakan nilai logaritma, konsep interval cents dari Ellis (1884) dan Hornbostel (1920) serta music rule dari Reiner. Tahun 1933, ia ditugaskan untuk membentuk pendidikan seni suara pada semua sekola-sekolah pribumi di Jawa barat dengan sistem da mi na ti la. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945) ia mengajar di sekolah guru kemudian dari tahun 1945 sampai 1947 ia bekerja sebagai guru ilmu alam, sejarah dan bahasa Inggris di (SMP/SMA) Bandung. Setelah itu ia diangkat menjadi kepala dari kantor Pendidikan (koordinator Pendidikan Rendah) di Sumedang (1947-1950) dan selajutnya ditugaskan untuk pendidikan seni-suara pada sekolah-sekolah rendah dan menengah Jawa Barat di Bandung (1950-1952). Selanjutnya ia bekerja staf ahli di Jawatan Kebudayaan Jawa Barat di Bandung. Kemudian pada tahun 1958 (sampai 1959), ia diangkat menjadi Direktur utama Konservatori Karawitan Sunda Bandung. Selebihnya ia adalah dosen luar biasa mengajar ilmu akustik dan gamelan di Konservatori Karawitan Surakarta (1953-1959). Menikah degan Ibu Saminah salah seorang lulusan pertama sekolah guru wanita Van Deventer di Salatiga. Ia dikarunia 10 orang anak, namun sayang tidak ada yang menggeluti kesenian, tetapi kebanyakan berkecimpung dalam bidang ilmu alam; Machjeu Koesoemadinata (alm), Kama Kusumadinata (alm, ahli volkanologi pada Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan), Ny Karlina Sudarsono (alm), dr. Soetedja Koesoemadinata (alm), Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata (guru besar emiritus dalam ilmu geologi ITB), Dr. Santosa Koesoemadinata (pensiunan peneliti biologi di Departemen Pertanian), dr. Rarasati Djajakusumah (alm), Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, (gurubesar dalam ilmu kimia di Universitas Padjadjaran), Muhamad Sabar Koesoemadinata (ahli Geologi Kwarter pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi), dan Ir. Margana Koesoemadinata (alm, ahli akustik di LIPI dan kemudian di KLH).

Penemuan dan hasil karya
Sebagai seniman pengarang lagu, Pak Machjar menciptakan lagu-lagu Sunda tradisional seperti Lemah Cai, Dewi Sartika, Sinom Puspasari, maupun penggubah lagu-lagu Sunda traditional dan menuliskannya dalam notasi da mi na ti la. Sebagai seniman ia juga seorang penulis sandiwara dan memelopori Gending Karesmen (opera Sunda) yang disebutnya sebagai Rinenggasari dengan karya nya antara lain Sarkam Sarkim (1926), Permana Permana Sari (1930), Sekar Mayang (1935), Tresnawati (1959) dan Iblis Mindo Wahyu (1968).
Sebagai ahli teori musik, khususnya dalam bidang Pelog dan Salendro, ia memformulasikan sistem notasi da mi na ti la untuk lagu-lagu Sunda, meneliti dan menulis teori mengenai seni raras dan gamelan di antaranya Ringkesan Pangawikan Rinengga Swara (1950), Ilmu Seni Raras (1969) dan juga buku lagu-lagu Sunda. Bersama Mr. Jaap Kunst, ia juga banyak banyak menghasilkan tulisan (publikasi) mengenai teori musik gamelan. Di antara hasil penelitian dan penciptaan dari Pak Machyar adalah gamelan eksperimental dengan 9-tangga nada (1937) untuk pelog dan gamelan 10-tangga nada untuk salendro (1938), dimana keduanya hilang pada zaman pendudukan Jepang (1942-45). Selain penciptaan gamelan monumental Ki Pembayun (1969), ia juga membuat gitar akustik 17 tangga nada. Sumbangan terbesarnya terletak pada hasil penelitian yang benar-benar bersifat ilmiah yang menuju ke universalitas (unified theory) dari seni suara adalah teori 17 tangga nada Sunda (1950) dimana satu oktaf terdiri dari 17 interval yang sama dari 70 10/17 cents, dimana nada dari setiap laras (tangga nada) Sunda dapat diambil. Model ini bersifat universal karena memiliki nada-nada yang sangat lengkap dan bisa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu dari berbagai tangga nada. Didalam penelitiannya, ia menggunakan alat pengukur getaran suara monochord yang dibuatnya atas pertolongan ahli kecapi dan nayaga ulung Pak Idi. Alat ini dilengkapi dengan sekala getaran (frekuensi) yang diperoleh atas jasa baik Mr. Jaap Kunst dari laboratorium musikologi di Europa. Setiap kali monochord itu hendak digunakannya terlebih dahulu mengkalibrasikannya dengan garpu suara dengan getaran yang baku (660 hz). Alat itu ternyata cukup akurat sehingga juga dipergunakan oleh pakar-pakar musikologi seperti Prof. Collin McPhee dari Amerika Serikat dan C. Campagne, direktur sekolah musik di Bandung. Alat monochord in merupakan alat utamanya yang menyertainya ke mana-mana dalam melakukan penelitian mengenai Pelog Salendro sampai akhir hayatnya.

Ki Pembayun
Atas prakarsa dan bantuan dari Industri Pariwisata P.D. Provinsi Jawa Barat, yang diketuai oleh R.A. Sjukur Dharma Kesuma, pada tahun 1969 pak Machjar menciptakan gamelan yang diberi nama ‘Ki Pembayun’ (artinya si sulung) yang merupakan gamelan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Gamelan ini dibuat untuk menunjukan penemuan teorinya sistem 17 tangga nada. Selain Laras Salendro, madenda, degung, kobongan Mataraman, lagu-lagu yang bertangga nada musik Barat dapat dimainkan pada gamelan ini. Walaupun gamelan Ki Pembayun secara teknik sukar dimainkannya karena merupakan sesuatu yang tidak umum dan membutuhkan waktu lama untuk pelatihannya, namun sebagai bahan kajian, keberadaannya sangat penting. Tidak sedikit para pemikir dari negara lain kagum atas munculnya gamelan tersebut. Menurut ahli etnomusokologi Andrew Weintraub (2001), munculnya gamelan selap yang berkembang sekarang, pada dasarnya merupakan pengaruh dari gamelan Ki Pembayun. Sangat disayangkan sekali gamelan Ki Pembayun kemudian hilang raib. Satu-satunya jejak yang tertinggal mungkin hanya dari permainan gamelan ini yang sempat direkam dan difoto oleh Dr. Margaret Kartomi, profesor musik dari Monash University, Australia.

Penghargaan
Di antara penghargaan-penghargaan yang didapatkannya, adalah penghargaan tertinggi dalam bidang budaya; Piagam Anugrah Seni, sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (17 Agustus 1969), penghargaan Sebagai pencipta lagu rampak sekar Ibu Dewi Sartika (4 Desember 1975), dan penghargaan dari Ikatan Seniman Sunda (9 Mei 1959).

R. Samadikun
Gubernur Jawa Timur 1949 – 1958
R. Samadikun (Jombang, 8 Maret 1902 - ??) adalah Gubernur Jawa Timur periode 1949 – 1958. Ia adalah putra dari Kusumowisastro, seorang pensiunan kontrolir di Jombang. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah HIS, Jombang kemudian dilanjutkan ke OSVIA Blitar, Jawa Timur. Setelah menjadi pegawai, ia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Bestuurschool, Batavia. Sebagai pegawai pemerintah R. Samadikun mengawali karier sebagai G.A.I.B yang diperbantukan pada kontrolir Lamongan. Setelah itu beliau berpindah-pindah tempat dengan jabatan yang berbeda, seperti Wedana Jaba Surabaya, Sekretaris Bupati Magetan, Asisten Wedono Dolopo (Madiun), Wedono Jebeng (Ponorogo) dan kemudian Patih di Kediri. Di samping itu, suami dari Moebandi dan ayah dari 6 orang putra dan putri ini juga aktif di Perkumpulan Sekolah Neutral. Dalam perkumpulan ini Samadikun ditunjuk sebagai ketua. Perkumpulan ini membawahi beberapa jenis sekolah, seperti: HIS Bersubsidi, Vervolgschool Bersubsidi, Schakelschool, MULO, Frobelschool, dan lain-lain. R. Samadikun ditunjuk sebagai gubernur Jawa Timur menggantikan Dr. Moerdjani pada tahun 1949.