Kelahiran 1903

Roestam Effendi
seorang sastrawan Indonesia
Roestam Effendi (lahir di Padang, Sumatera Barat, 13 Mei 1903 – meninggal di Jakarta, 24 Mei 1979 pada umur 76 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia asal Sumatera Barat dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Keberadaannya dalam khasanah sastra Indonesia cukuplah penting. Semangat perlawanan terhadap pemerintah penjajahan dituangkan dalam penulisan sajak dan drama yang bersifat metaforik dan menjadi pembaharu dalam gaya. Ia adalah orang asli Hindia-Belanda pertama yang menjadi anggota parlemen Belanda.

Riwayat
Latar belakang keluarganya tidak pernah dibicarakan orang. Roestam tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi yang kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra) di Bandung. Pada tahun 1926 ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan Hoofdakte. Sejak masih duduk di bangku sekolah, Roestam sudah banyak menaruh minat pada soal-soal kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak memperbaharui dunia sandiwara yang saat itu lebih bersifat komedi stambul.

Karier
Sebelum pergi ke Belanda, Roestam sempat beberapa lama menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Sebelum di Adabiah, ia pernah diangkat menjadi Waarnemend hoofd pada sekolah tingkatan HIS di Siak Sri Indrapura. Namun pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama "Adabiah". Sebagai kepala sekolah, ia merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat. Sehingga ketika ia mengepalai sekolah, ia juga terjun ke dunia politik dan aktif menulis.
Selama 19 tahun (1928-1947) ia menetap di Belanda, dan bergabung dengan Partai Komunis Belanda (Communistische Party Nederland, CPN) dan selama 14 tahun (1933-1946) Roestam merupakan satu-satunya orang Hindia Belanda yang pernah menjadi anggota Majelis Rendah (Tweede Kamer) mewakili partai tersebut.
Di dunia sastra, keseriusannya untuk mengembangkan sastra Melayu diperlihatkan dengan kegigihannya mempelajari hasil-hasil kesusastraan Melayu seperti hikayat, syair, dan pantun. Pada masa awal kepengarangannya, Roestam sering menggunakan nama-nama samaran seperti Rantai Emas, Rahasia Emas, dan Rangkayo Elok.

Naskah Drama
Karya Roestam yang cukup terkenal ialah Bebasari, yaitu naskah drama yang ditulisnya pada tahun 1920-an. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda.

Cuplikan teks Bebasari :
Harapan beta perawan pada Bujangga hati pahlawan
Lepaskan beta oh kakanda, lepaskan
Dengarlah peluk asmara hamba
Kilatkan jaya kekasih hati

Isi cerita Bebasari ialah, putri seorang bangsawan yang terkurung di antara kawat berduri, setelah ayahnya dibunuh. Bebasari diculik. Barangkali dia yakin kekasihnya, Bujangga, terus membawa dendam kesumat pada penjahat Rahwana. Bagaimana tak sakit hati Bujangga, kekasih diculik, kerajaan porak-poranda, bapak mati berkubang kesedihan. Hatinya geram dan bersiap menuntut balas. Jiwa kebangsaan, dendam patriotik hingga cinta asmara menjadi senjata pamungkas menghadapi penjajah durjana.
Karya-karyanya
Percikan Permenungan, kumpulan puisi yang pernah dimuat majalah Asjraq, Padang (1926)
Bebasari, naskah drama tiga babak (1926)
Van Moskow naar Tiflis (ditulis dalam bahasa Belanda

Ali Sastroamidjojo
Perdana Menteri Indonesia
Ali Sastroamidjojo SH (EYD: Ali Sastroamijoyo) (lahir di Grabag, Magelang, 21 Mei 1903 – meninggal di Jakarta, 13 Maret 1976 pada umur 72 tahun) adalah tokoh politik, pemerintahan, dan nasionalis. Ia mendapatkan gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927. Ia juga adalah Perdana Menteri Indonesia ke-8 yang sempat dua kali menjabat pada periode 1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I) dan 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II).
Selain itu, Ali juga sempat menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan pada Kabinet Presidensial I, Menteri Pengajaran pada Kabinet Amir Sjarifuddin I, Amir Sjarifuddin II, serta Hatta I, dan Wakil Ketua MPRS pada Kabinet Kerja III, Kerja IV, Dwikora I, dan Dwikora II. Semasa bersekolah, aktif dalam organisasi pemuda, seperti halnya organisasi Jong Java (1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia (1923-1928). Karena aktivitasnya, ia ditahan pada tahun 1927 oleh Polisi Belanda bersama-sama dengan Mohammad Hatta, Natzir Dt. Pamuncak, dan Abdulmajid. Pada tahun 1928, bersama-sama dengan Mr. Soejoedi membuka kantor pengacara, dan bersama dr. Soekiman, menerbitkan majalah Djanget di Surakarta. Kemudian ia masuk Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Bung Karno, lalu masuk Gerindo saat PNI dibubarkan oleh Mr. Sartono. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, ia masuk kembali ke organisasi PNI.
Setelah Perang Dunia II usai, ia meneruskan aktivitasnya di lapangan politik dan pemerintahan, antara lain menjadi Menteri Pengajaran dalam Kabinet Amir Syarifuddin (Juli 1947) dan Kabinet Hatta (Januari 1948). Ia kemudian menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda (Februari 1948) dan menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, ia diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko (1950-1955). Selain itu, ia juga diangkat menjadi ketua umum Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1957-1960), dan menjadi ketua umum PNI (1960-1966).
Selain menjadi tokoh politik, ia juga rajin mempublikasikan pikirannya, antara lain pada Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972), otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda (1975).

Soepomo
pahlawan nasional Indonesia
Prof. Mr. Dr Soepomo (Ejaan Soewandi: Supomo; lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 – meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Sukarno.

Keluarga
Berasal dari keluarga aristokrat Jawa, kakek Soepomo dari pihak ayah adalah Raden Tumenggung Reksowardono —ketika itu menjabat sebagai Bupati Anom Sukoharjo— dan kakek dari pihak ibu adalah Raden Tumenggung Wirjodiprodjo, Bupati Nayaka Sragen.

Pendidikan
Sebagai putra keluarga priyayi, Soepomo berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di Bataviasche Rechtsschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen (Soegito 1977).
Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia dan ahli hukum internasional, salah satu konseptor Liga Bangsa Bangsa. Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektivitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Franz Magnis-Suseno "Etika Jawa" dan tulisan-tulisan Ben Anderson dalam Language and Power sebagai tambahan acuan tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency Soepomo).

Pemikiran
Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan Soegito (1977) berdasarkan proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Marsilam Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Simanjuntak menilai Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat dengan ideal Soepomo, kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan ulang.[1]

Meninggal dunia
Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada tahun 1958 dan dimakamkan di Solo.

Wage Rudolf Soepratman
pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya"
Wage Rudolf Supratman (lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan pahlawan nasional Indonesia.

Kehidupan pribadi
Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik. W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah mengangkat anak.

Indonesia Raya
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.

Kontroversi tempat dan tanggal lahir
Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini – selain didukung keluarga Soepratman – dikuatkan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.

Suwiryo
Wakil Perdana Mentri pada Kabinet Sukiman-Suwiryo
Raden Suwiryo (lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1967 pada umur 64 tahun) adalah seorang tokoh pergerakan Indonesia. Beliau juga pernah menjadi Walikota Jakarta dan Ketua Umum PNI. Beliau juga pernah menjadi Wakil Perdana Mentri pada Kabinet Sukiman-Suwiryo.

Pendidikan dan pekerjaan
Suwiryo menamatkan AMS dan kuliah di Rechtshogeschool namun tidak tamat. Suwiryo sempat bekerja sebentar di Centraal Kantoor voor de Statistik. Kemudia ia bergiat di bidang partikelir, menjadi guru Perguruan Rakyat, kemudian memimpin majalah Kemudi. Menjadi pegawai pusat Bowkas "Beringin" sebuah kantor asuransi. Pernah juga menjadi pengusaha obat di Cepu.

Awal perjuangan
Di masa mudanya Suwiryo aktif dalam perhimpunan pemuda Jong Java dan kemudian PNI. Setelah PNI bubar tahun 1931, Suwiryo turut mendirikan Partindo. Pada zaman kependudukan Jepang, Suwiryo aktif di Jawa Hokokai dan PUTERA.

Menjadi Wakil Walikota Jakarta
Proses Suwiryo menjabat sebagai walikota dimulai pada Juli 1945 pada masa pendudukan Jepang. Kala itu dia menjabat sebagai wakil walikota pertama Jakarta, sedangkan yang menjadi walikota seorang pembesar Jepang (Tokubetsyu Sityo) dan wakil walikota kedua adalah Baginda Dahlan Abdullah. Dengan kapasitasnya sebagai wakil walikota, secara diam-diam Suwiryo melakukan nasionalisasi pemerintahan dan kekuasaan kota.

Peralihan kekuasaan dari Jepang
Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja ditutup-tutupi. Tapi Suwiryo, dengan berani menanggung segala akibat menyampaikan kekalahan Jepang ini pada masyarakat Jakarta dalam suatu pertemuan. Hingga demam kemerdekaan melanda Ibu Kota, termasuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Perpindahan kekuasaan dari Jepang dilakukan tanggal 19 September 1945 dan Suwiryo ditunjuk jadi Walikota Jakarta tanggal 23 September 1945.

Setelah proklamasi kemerdekaan
Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan, Suwiryo-lah salah seorang yang bertanggungjawab atas terselenggaranya proklamasi di kediaman Bung Karno. Semula akan diselenggarakan di Lapangan Ikada (kini Monas) tapi karena balatentara Jepang masih gentayangan dengan senjata lengkap, dipilih di kediaman Bung Karno.

Rapat Raksasa di Lapangan IKADA
Suwiryo dari PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda ikut menggerakkan massa rakyat menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan tekad bangsa Indonesia siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa di Ikada ini dihadiri bukan saja oleh warga Jakarta tapi juga Bogor, Bekasi, dan Karawang.

Ditangkap NICA
Ketika pasukan Sekutu mendarat yang didomplengi oleh pasukan NICA (Nederlands Indies Civil Administration), pada awal 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta hijrah ke Yogyakarta. Suwiryo yang tetap berada di Jakarta menginstruksikan kepada semua pegawai pamongpraja agar tetap tinggal di tempat menyelesaikan tugas seperti biasa. Pada 21 Juli 1947 saat Belanda melancarkan aksi militernya, Suwiryo diculik oleh pasukan NICA di kediamannya di kawasan Menteng pada pukul 24.00 WIB. Selama lima bulan dia disekap di daerah Jl Gajah Mada, dan kemudian (Nopember 1947) diterbangkan ke Semarang untuk kemudian ke Yogyakarta.

Perjuangan di Jogja
Di kota perjuangan, wali kota pertama Jakarta ini disambut besar-besaran oleh Panglima Besar Sudirman yang datang ke stasion Tugu. Di sana Suwiryo ditempatkan di Kementrian Dalam Negeri RI sebagai pimpinan Biro Urusan Daerah Pendudukan (1947-1949). Pada September 1949, Suwiryo kembali ke Jakarta sebagai wakil Pemerintah RI pada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Perang Kemerdekaan
Pada 17 Februari 1950 Presiden RIS, Sukarno mengangkatnya kembali sebagai Walikota Jakarta Raya. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo (April 1951 - April 1952). Jabatan walikota diganti oleh Syamsurizal (Masyumi). Setelah berhenti menjadi Wakil PM, kemudian Suwiryo diperbantukan beberapa saat di Kementrian Dalam Negri. Setelah itu Suwiryo menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Umum merangkap Presiden Komisaris Bank Industri Negara (BIN) yang kemudian dikenal dengan Bapindo. Suwiryo meninggalkan dunia perbankan setelah terpilih menjadi Ketua Umum PNI. Lepas dari kegiatan partai, Suwiryo menjadi anggota MPRS dan kemudian menjadi anggota DPA.

Meninggal dunia
Enam tahun terakhir masa hayatnya, Suwiryo berjuang melawan penyakit yang tidak dapat dilawannya, akhirnya beliau meninggal pada 27 Agustus 1967 dan dimakamkan di Taman makam Pahlawan Kalibata.

Sukarjo Wiryopranoto
pahlawan nasional Indonesia
Sukarjo Wiryopranoto (lahir di Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, 5 Juni 1903 – meninggal di New York, Amerika Serikat, 23 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Tamatan Sekolah Hukum tahun 1923 ini kemudaian bekerja di Pengadilan Negeri di beberapa kota sampai akhirnya mendirikan sendiri kantor pengacara "Wisnu" di Malang, Jawa Timur.Sukardjo menjadi anggota Volksraad pada tahun 1931. Selain itu bersama Dr. Soetomo ia mendirika Persatuan Bangsa Indonesia (PBI).

Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sampai akhir hayatnya.
Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Muhammad Yunus Anis
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1959-1962
K.H.R. Muhammad Yunus Anis (lahir di Yogyakarta, 3 Mei 1903), adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962.

Pendidikan
Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta
Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia (Jakarta), bimbingan Syekh Ahmad Syurkati.

Kehidupan
Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan.
Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu, Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Ia pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Yunus Anis sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962. Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

Mohammad Yamin
Pahlawan Nasional
Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto
Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.

Kesusasteraan
Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera,  sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik. Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun. Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.
Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Politik
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.
Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.

Karya-karyanya
Tanah Air (puisi), 1922
Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
Sedjarah Peperangan Dipanegara , 1945
Gadjah Mada (novel), 1948
Revolusi Amerika, 1951

Ilyas Ya'kub
Pahlawan Nasional
H. Ilyas Yakoub (juga dieja Ilyas Yacoub; lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 1903 – wafat di Koto Barapak, 2 Agustus 1958) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatra Barat. Ia ditetapkan sebagai pahlawan melalui Surat Keputusan Presiden No. 074/TK/1999 bertanggal 13 Agustus 1999.

Pahlawan Nasional
Ilyas Ya’kub adalah seorang ulama dan syaikhul Islam dari Minangkabau, lulusan Mesir, diangkat menjadi pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia dengan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan resik dibuang Belanda ke Digul (di Papua – Indonesia sekarang) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura, Brunei, Australia dll. Ia pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia di Mesir, juga pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia, 1932) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Beralasan pula dengan kemampuan dan jasanya sebagai ulama, tokoh pendidikan dan politikus Islam di awal kemerdekaan (1948) ia dipercaya pada negeri yang Islam dan semangat melayunya kuat sebagai Ketua DPR Provinsi Sumatera Tengah merangkap penasehat Gubernur.

Seorang wartawan
Perjuangan Ilyas Ya’kub sebagai ulama dan tokoh pendidikan Islam banyak mendirikan lembaga pendidikan Islam. Ia juga pernah bekerja sebagai wartawan di samping berjuang mendirikan lembaga pers sejak masa pendidikan di perguruan tinggi di Timur Tengah. Sebagai politikus Islam yang gemilang, ia berjasa mewadahi Islam dan Kebangsaan[2] dengan parpol PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berbasis pada pendidikan Islam yang ia dirikan bersama teman seperjuangan.
Dengan profesinya sebagai wartawan dan penerbitan pers (pernah sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Medan Rakyat, 1 Pebruari 1931) serta politikus Islam pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia itu, membuatnya tegas dan keras menentang prilaku imperialisme dan kolonialisme Belanda. Sepak terjangnya memperlihatkan karakteristik radikal positif justru mengangkat martabat dan integritas dirinya sebagai tokoh Islam (ulama) dan nasionalis yang kuat menentang penjajah, lalu di pihak Belanda menarik perhatian dan amat diperhitungkan sebagai tokoh Islam dan Nasional itu sekaligus dinyatakan sebagai musuh bebuyutan, lalu dengan segala cara Belanda akhirnya dapat menangkapnya dan dibuang bersama isterinya Tinur ke Bouven Digul (dulu Irian Jaya, sekarang Papua) selama 10 tahun (1934 – 1944), ke Kali Bian Wantaka, ke Australia, ke Kupang, Timor, ke Singapura, ke Sarawak (Malaysia), ke Brunei Darussalam, ke Labuhan dll, sampai kembali ke tanah air bersama isteri dan 6 orang anaknya tahun 1946.
Apa yang melatari hidup Ilyas Ya’kub dan bagaimana perjuangannya lalu bagaimana akhir kehidupannya sebagai seorang tokoh Islam dan Nasionalis kuat di Indonesia, menarik untuk ditelusuri dalam kajian forum nadwah ulama nusantara (Asean) ini.

Latar Belakang Keluarga
Putra ketiga dari empat bersaudara dari pasangan suami-isteri Haji Ya’kub – Siti Hajir, Ilyas Ya’kub masa kecilnya belajar ilmu agama dengan kakeknya Syeikh Abdurrahman. Masa itu Bayang (daerah kelahirannya) masih merupakan sentra pendidikan Islam. Sebab sejak dahulu Bayang termasuk basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera berpusat di surau tua didirikan (awal 1666) oleh Syeikh Buyung Muda Puluikpuluik, salah seorang dari 6 ulama pengembang Islam di Indonesia seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di Aceh. Sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666) surau ini juga menjadi basis perjuangan melawan Belanda.
Bayang sejak lama menjadi basis konsentrasi perjuangan rakyat Sumatera Barat melawan Belanda, tercatat perang Bayang berlangsung lebih satu abad (mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771). Sejak itu Bayang melahirkan banyak ulama besar dan pejuang kemerdekaan dan Islam di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad Fatawi, Syeikh Muhammad Jamil (tamatan Makkah 1876), Syeikh Muhammad Shamad (wafat di Makkah tahun 1876), Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (1864 – 1923) penulis buku taraghub il rahmatillah yang oleh BJO Schrieke disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penuh moral, juga Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas Ya’cub), Syeikh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang) dll.
Ayah Ilyas Ya’kub seorang pedagang kain dan hidup di lingkungan ulama, cukup memberi peluang dana dan motivasi bagi Ilyas Ya’kub untuk mengecap pendidikan lebih baik. Pertama ia mendapat pendidikan di Gouvernements Inlandsche School. Tamat sekolah ia bekerja sebagai juru tulis selama dua tahun (1917 – 1919) di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Ia keluar dari perusahaan itu sebagai protes terhadap pimpinan perusahaan asing yang imperialisme dan kolonialisme yang kasar terhadap kaum buruh pribumi. Sebagai konvensasi Ilyas Ya’kub memperdalam ilmu agama Ilyas Ya’kub kemudian belajar dengan Syekh Haji Abdul Wahab (Raichul Amar dalam Edwar, ed. 1981, baca juga skripsi Nirmawati, 1984). Gurunya (juga ayah dari isterinya Tinur) ini melihat Ilyas Ya’kub berbakat, lalu dibawa ke Mekah. Ketika berada di tanah suci itu, selesai menunaikan ibadah haji, Ilyas berminat untuk menetap di sana guna memperdalam ilmu agamanya. Tahun 1923 ia punya kesempatan ke Mesir. Di sana ia memasuki sebuah universitas mulanya sebagai thalib mustami’ (mahasiswa pendengar).

Perjuangan
Sa’at di Mesir ini Haji Ilyas Ya’kub aktif dalam berbagai organisasi dan partai politik di antaranya Hizb al-Wathan (partai tanah air) didirikan oleh Mustafa Kamal semakin membangkitkan semangat anti penjajah. Ia pernah pula menjabat sebagai ketua Perkumpulan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM) di Mesir. Selain itu ia juga fungsionaris wakil ketua organisasi sosial politik Jam’iyat al-Khairiyah dan ketua organisasi politik Difa` al-Wathan (Ketahanan Tanah Air).
Selain gerakan politik yang amat peduli dengan nasib bangsanya terjajah Belanda, Haji Ilyas Ya’kub di Mesir juga aktif menulis artikel dan dipublikasi pada berbagai Surat Kabar Harian di Kairo. Bersama temannya Muchtar Luthfi ia mendirikan dan memimpin Majalah Seruan Al-Azhar dan majalah Pilihan Timur. Majalah Seruan Al-Azhar adalah majalah bulanan mahasiswa sedangkan majalah Pilihan Timur adalah majalah politik. Kedua produk jusnalistik ini banyak dibaca mahasiswa Indonesia – Malaysia di Mesir ketika itu.
Gerakan Haji Ilyas Ya’kub dalam jurnalistik dan politik anti penjajah di Mesir, tercium oleh Belanda ketika itu. Melalui perwakilannya di Mesir, Belanda mencoba melunakkan sikap radikal Ilyas Ya’kub, tetapi gagal. Sejak itu Belanda semakin mengaris merah Ilyas Ya’kub tidak saja sebagai radikalis bahkan dicap sebagai ekstrimis dan musuhnya di Indonesia.
Ketika masih dalam ancaman Belanda, tahun 1929 Haji Ilyas Ya’kub kembali dari Mesir, memaksanya transit di Singapura kemudian nyasar berlabuh di Jambi. Di tanah air, ia menemui teman-temannya di Jawa yang bergerak dalam PNI dan PSI. Dari pengalaman dua partai temannya tadi (PNI dan Partai Serikat Islam) Ilyas Ya’kub berfikir, bahwa jiwa yang dimiliki kedua partai tersebut, yakni Islam dan kebangsaan adalah penting dikombinasikan, dikonversi dan dikonsolidasikan kemudian diwadahi dengan satu wadah yang refresentartif. Ternyata kemudian Haji Ilyas Ya’kub sekembali dari kunjungan ini tahun 1930 men-set up idenya: Islam dan kebangsaan dalam dua kegiatannya yakni bidang jurnalistik dan politik. Dalam bidang jurnalistik diwadahi dengan penerbitan pers yakni Tabloid Medan Rakyat. Dalam bidang politik ia bersama temannya Mukhtar Luthfi mendirikan wadah baru bernama PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) dengan asas Islam dan kebangsaan. Tujuannya menegakan Islam dan memperkuat wawasan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dengan dasar Islam dan kebangsaan ini, PERMI menjalankan sikap politik non kooperasi dan tak kenal kompromi dengan bangsa apapun yang kental punya prilaku imperialisme dan kolonialisme. Karena itu pula PERMI secara prinsipil mencap bahwa kapitalisme dan imperalisme merupakan penyebab penderitaan rakyat Indonesia.
PERMI pada awal mula bernama PMI (Partai Muslimin Indonesia) didirikan Haji Ilyas Ya’kub tahun 1930. PMI ini berbasis pada lembaga pendidikan Islam Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Ide dasarnya, pemberdayaan sekolah agama dengan berbagai inovasi ke arah sistem modern, dimulai perbaikan kurikulum, sistem penjenjangan program dan lama masa pendidikan, memberi perlindungan kepada pelajar serta mengorganisasikan sekolah agama sebagai basis perjuangan kemerdekaan dan sentra pencerdasan bangsa dengan pengatahuan Islam dan kebangsaan. Beralasan kemudian PMI berambisi menambah jumlah sekolah agama dengan mendirikan sekolah baru dengan sistem modern, mulai dari tingkat pendidikan dasar (ibtidaiyah) sampai pendidikan tinggi (Al-Kulliyat). Di antara pendidikan tinggi, di Alang Laweh, 12 Pebruari 1931 didirikan perguruan tinggi dalam bentuk college Islam untuk diploma A dan diploma B, bernama Al-Kulliyat Al-Islamiyah, diselenggarakan intelektual jebolan Timur Tengah di antaranya Janan Thaib (sebagai pimpinan), Syamsuddin Rasyid (onder director) dan Ilyas Ya’kub. Mahasiswa awal diterima lulusan Sumatra Thawalib, Diniyah School, Tarbiyah Islamiyah, AMS (Algemeene Middelbare School), Schakel School dan lulusan sekolah tingkat menengah lainnya.
Tahun 1932 PMI mengadakan konsolidasi. Partai ini menyadari perjuangan Islam dan Kebangsaan perlu dikokohkan baik internal maupun eksternal. Tantangan Masyarakat Islam Indonesia sebagai bagian dari Muslim Asean yang ketika itu (sejak abad ke-16) disebut dengan istilah jawi, juga berpeluang berfikir pengembangan Islam tidak terlepas dari politik kekuasaan meskipun di wilayah konsentrasi Islam seperti di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, apalgi di wilayah minoritas Islam. Mari belajar konflik minoritas muslin Moro (sejak abad ke-19) dengan pemerintahan Filipina berbeda sedikit dengan Burma (Myanmar) perkembangan muslin relative stabil sejak tahun 1930-han atau Singapura tahun 1932 sudah mendirikan Jam’iyat (Pesekutuan) Seruan Islam, apakah ini pengaruh Singapura pernah (tahun 1840) menjadi sentra pengembangan Tarekat Naqsyabandi yang dikembangkan Syeikh Ismail Simabur (Minangkabau) di kawasan Nusantara (Asean) menarik untuk diteliti dianalisis sintesis dengan fenomena terakhir (sejak tahun 1957) Muhammaddiyah telah pula berkembang di Singapura bersamaan dengan gerakan dakwah didukung ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) di Malaysia. Masih kurun itu (1932) kasus di belahan Nusantara (Asean) juga, Thailand yang tidak pernah dijajah misalnya, agama Negara yang diakui kekakuasaan raja secara resmi adalah Budha Trevada, namun kepada masyarakat Islam yang dominant al-syafi’iyah diberikan kemerdekaan menghurus al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga) termasuk munakahat (perkawinan) terutama dalam bentuk NTCR (Nikah Talak-Cerai dan Rujuk) dilakukan kadhi yang mendapat legalisasi pemerintahan raja (lihat juga Taufik Abdullah, d., 2003:305-339). Angin segar dan peluang masyarakat muslim di Nusanatara yakni Negara Asean yang satu ini tidak terlepas dari jaringan pembaharuan Ahmad Wahab (dari Minangkabau) di Bangkok tahun 192-han dan kawan-kawan seperti juga Syeikh Thaher Jalaluddin Al-Falaki (dari Minangkabau) di Malaysia (Yulizal Yunus, 1982).
Konsolidasi PMI merupakan bagian kesadaran bagi penguatan lembaga ke-Islam menunjang visi Islam dan kebangsaan Indonesia. Konsolidasi dilakukan dalam bentuk Kongres Besar bertempat di dekat daerah kelahiran Ilyas Ya’kub yakni Koto Marapak (Bayang Pesisir Selatan) dihadiri oleh seluruh pengurus cabang se Sumatera seperti dari Tapanuli Selatan, Bengkulu, Palembang, Lampung dll. Di antara keputusan Kongres Besar, PMI diubah namanya menjadi PERMI yang dicap Belanda sebagai partai Islam radikal revolusioner. Kantornya di gedung perguruan Islamic College, Alang Lawas, Padang.
Kalau tadi Ilyas Ya’kub tidak mengenal kompromi dengan komponen yang punya watak imperialisme dan kolonialisme, dalam PERMI ia bisa kompromi dengan Pertindonya Soekarno. Bentuk komprominya dalam bentuk koalisi memperkuat perjuangan kebangsaan, yakni dimana telah ada berdiri cabang Pertindo maka di sana tidak lagi perlu ada cabang PERMI dan sebaliknya. Karena dianggap membahayakan pemerintahan, maka berdasarkan vergarder verbod Belanda mengeluarkan kebijakan exorbita terechten yang menyatakan PERMI terlarang dan diikuti tindakan penangkapan terhadap tokoh-tokohnya. Haji Ilyas Ya’kub bersama dua temannya Mukhtar Luthfi dan Janan Thaib ditangkap dan dipenjarakan. Setelah 9 bulan di penjara Muaro Padang, ia diasingkan selama 10 tahun (1934-1944) ke Bouven Digul Irian Jaya bersama para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia lainnya. Selama di Digul Haji Ilyas Ya’kub didampingi isteri Tinur sering sakit-sakitan. Masa awal penjajahan Jepang di Indonesia pun, para tahanan Digul semakin memprihatinkan, mereka dipindahkan lagi ke daerah pedalaman Irian Jaya di Kali Bina Wantaka kemudian diasingkan pula ke Australia[3]. Ia senantiasa dibujuk van der Plas dan van Mook (Belanda), namun semangat nasionalis dan Islamnya tidak pernah pudar memotivasi pembangkangannya dalam menentang penjajah dan menggerakkan terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Oktober 1945 pemulangan para tahanan perang dari Australia ke Indonesia dengan kapal Experence Bey Oktober, Haji Ilyas Ya’kub tidak diizinkan turun di pelabuhan Tanjung Periuk, bahkan ia kembali ditahan dan diasingkan bersama isteri selama 9 bulan berpindah-pindah di Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, kemudian ke Labuhan, Singapura (anaknya iqbal meninggal di sana). Satu tahun Indonesia merdeka (1946) barulah habis masa tahanan dan Haji Ilyas Ya’kub, ia kembali bergabung dengan kaum republik sekembali dari Cerebon. Ia ikut bergrillya pada clas II (1948) dan ikut membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang kemudian dipimpin oleh Mr. Safruddin Prawiranegara. Ia mendapat tugas menghimpun kekuatan politik (seluruh partai) di Sumatera untuk melawan agresor Belanda. Tahun itu ia menjabat ketua DPR Sumatera Tengah kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap sebagai penasehat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.

Wafat
Sebenarnya banyak perjuangan Ilyas Ya’kub yang tidak tercatat secara syumul, mulai sejak masa awal ia bekerja di Perusahaan Asing (Belanda) yakni Tambang Batubara di Sawah Lunto, masa pendidikan di Mesir pasca Mekah (8 tahun), masa bergerak di PERMI diperkuat tabloid Medan Rakyat serta hubungannya dengan tokoh politik, masa konsolidasi ideologi gerakan Islam dan Kebangsaan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang beresiko tinggi pada dirinya masuk penjara keluar penjara penjajah dari satu daerah pengasingan ke daerah pengasingan lainnya di dalam/ luar negeri (13 tahun), sampai ia mengabdi kepada Republik bekerja di badan legislatif. Namun ia telah memenuhi ajakan ‘isy karima wa mut syahida (hidup sebagai orang mulia dan wafat meninggalkan jasa) adalah jasa kepada Islam dan kebangsaan, turut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Di akhir hayat yang husn al-khatimah itu Ilyas Ya’kub menghembuskan napas terakhir Sabtu, 2 Agustus 1958 jam 18.00 wib, ia meninggalkan 11 orang anak, antara lain putranya Anis Sayadi, Fauzi (satu di antaranya yang menulis riwayat hidup singkat tokoh ini) dll. Kesaksian kebesaran perjuangannya dikukuhkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI dengan SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, mendapat piagam penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1975. Kepahlawanannya dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI di samping memperjuang Partai dan Pendidikan Islam. Kebesarannya dihargai Negara dan oleh Pemerintahan Kabupaten setiap bulan diberikan bantuan kesejahteraan sejumlah uang tunai kepada keluarga pahlawan nasional ini ditetapkan dengan SK-Bupati Nomor 400-134/BPT-PS/2005 tanggal 2 Januari 2005. Kepahlawanan Ilyas Ya’kub juga diabadikan dengan pemberian namanya kepada gedung olahraga dan jalan serta dibangun sebuah patung di perapatan jalan di gerbang kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Indonesia). Makamnya di depan mesjid raya Al-Munawarah Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat juga menjadi saksi bisu kebesarannya dalam Islam dan Kebangsaan. ***Yulizal Yunus