Kelahiran 1906

Aidan Sinaga
Wali kota Banjarmasin 1950-1958
Aidan Sinaga (bumibanjar.blogspot.com )

Aidan Sinaga (lahir di Tarutung, Sumatera Utara, 6 Maret 1906). Pendidikannya adalah H.K.S Hoofd-Actie Cursus. Tokoh ini pada mulanya adalah guru HIS (Hollands Inlandse School) di Kandangan tahun 1935. Selain itu dia juga mengajar di HIS Banjarmasin dan sekolah Hutsu Cho-Gakko (pengganti MULO/Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada masa pendudukan Jepang. Pada zaman setelah kemerdekaan, A.Sinaga aktif di organisasi kepartaian, yaitu bersama dr. D.S. Diapari, dr. Suranto, A.A. Rivai, R. Sya'ban, E.S. Handuran, dan Abdullah mendirikan partai politik Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) pada tanggal 19 Januari 1946 di Banjarmasin. Sebagai dengan Ketua Umum D.S. Diapari, Wakil Ketua I A.A.
Rivai, Wakil Ketua II A. Sinaga. Sekretaris Umum E.S. Handuran dan beberapa pengurus lainnya.
Tujuan pembentukan SKI adalah untuk sarana perjuangan di bidang diplomasi politik, untuk mendukung perjuangan rekan-rekan di bidang militer, pimpinan Hasan Basry.
Menyikapi Persetujuan Linggarjati, yang isinya tidak memasukkan Kalimantan sebagai wilayah dari Republik Indonesia, maka Aidan Sinaga, E.S. Handuran dan A.A. Rivai menghadap Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta di Yogyakarta dan menyampaikan surat pernyataan bertanggal 20 November 1946 berisi dukungan dan kesetiaan SKI terhadap Republik Indonesia
Perjuangannya bersama tokoh-tokoh SKI lainnya berhasil mendominasi anggota Dewan Banjar, sebuah badan legislatif bentukan Belanda. Dari 7 kursi yang tersedia, 5 kursi diduduki orang-orang SKI. Sehingga Dewan banjar lebih berpihak pada perjuangan menuju Negara Kesatuan daripada menyalurkan keinginan Belanda untuk membentuk negara perserikatan.

A.A Rivai dan A. Sinaga (paling kanan depan) ketika menghadiri KMB di Den Haag (bumibanjar.blogspot.com )
-----------------
Sebelum Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, A. Sinaga bersama A.A. Rivai sebagai utusan BFO dari Dewan Banjar mengikuti persidangan antara Delegasi Republik Indonesia di Scheveningen dan ‘s-Gravenhage, membicarakan persiapan pembuatan Konstitusi RIS. A.A. Rivai sebagai wakil dari Dewan Banjar ikut membubuhkan tanda tangan pada Piagam Persetujuan Naskah Undang-undang Dasar Peralihan bernama Konstitusi Republik Indonesia. Mereka berdua selanjutnya mengikuti Persidangan KMB di Den Haag. Sehabis dari KMB, keduanya pulang ke Indonesia dengan pesawat constellation KLM tanggal 9 November 1949. bersama utusan-utusan lainnya.
Sesudah pengakuan kedaulatan, ia dipercaya sebagai Wali kotapraja Banjarmasin (1950-1958).

Rujukan
Wajidi, 2007, Proklamasi Kesetiaaan Kepada Republik, Pustaka Banua, Banjarmasin.
====================================
APT Pranoto
Gubernur Kalimantan Timur pertama
Aji Pangeran Tumenggung Pranoto atau sering disingkat A.P.T. Pranoto (lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 14 September 1906 – meninggal di Samarinda, Kalimantan Timur, 19 Juni 1976 pada umur 69 tahun[1]) adalah Gubernur Kalimantan Timur yang pertama, yang menjabat dari tahun 1956-1962.
Kelahiran

Lahir dengan nama Aji Addin kemudian mendapat gelar Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto, sehingga nama yang populer adalah APT Pranoto. Aji Addin merupakan putera ke-7 dari Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Aji Muhammad Alimuddin, dan saudara kandung dari Sultan Aji Muhammad Parikesit. Dilahirkan di Tenggarong pada tanggal 14 September 1906.

Keluarga
Aji Addin memiliki 17 orang anak, diantaranya adalah Aji Juwita Kirana, anak ke-8, yang bersuamikan Aji Bambang Abdulrachim.

Kematian
Pada 19 Juni 1976, APT Pranoto menghembuskan napas terakhir di kediaman anaknya di Jl Sawo no 9, Samarinda.
Sumber lain
Menurut sumber lain, ia bernama Aji Mahmud bergelar Pangeran Tumenggung Pranata. lahir di Tenggarong, tahun 1905. Putera ke-5 dari Sultan Aji Muhammad Alimuddin dengan isteri mudanya.[2] Ia mendapat pendidikan di OSVIA, Makassar. Menteri Kepolisian tahun 1945, Residen Kalimantan Timur tahun 1956-1959, Gubernur Kalimantan Timur 1959-1962.[2]
Dipenjara oleh Kolonel R. Suharjo 1962-1966. Ia meninggal di tahanan Rumah Tahanan Militer, Jakarta, 1966, meninggalkan seorang janda dan seorang putera yang bernama Aji Radin Mustawan Pranata.[2]

Karier dan Jasa
Jasa-jasa
Di kalangan masyarakat luas, tokoh Kaltim yang memiliki 17 anak ini dikenal memiliki kepribadian yang ramah dan kooperatif, segala kesulitan yang dihadapi diusahakanya untuk mencari penyelesaian. "Bapak (APT Pranoto, red) selalu memberikan bimbingan kepada semua orang, terutama keluarganya. Makanya, ketika nama bapak sudah mulai dilupakan orang, kami tidak banyak menuntut apa-apa, hanya berdoa mudah-mudahan suatu saat dibukakan Tuhan kenyataan sebenarnya," kata Aji Juwita Kirana, anak ke-8 APT Pranoto. Terlebih di kalangan wartawan, jasanya membangun balai wartawan dan pendiri sekaligus pemberi nama surat kabar Wisma Berita tidak pernah dilupakan pada saat itu. Sehingga kehidupannya boleh dibilang sangat dekat dengan dunia jurnalistik. "Tapi kami tidak tahu, balai wartawan dan surat kabar Wisma Berita itu sekarang masih ada atau tidak, tapi yang jelas para wartawan yang hidup pada masa pemerintahan bapak tidak akan pernah lupa," tambah Juwita.

Karier pemerintahan
Memulai kariernya dengan menjadi juru tulis pada pemerintahan Kutai di Tenggarong, kemudian menjadi kepala distrik di Kota Bangun dan Sanga-sanga dari 1927 hingga 1929. Pada 1935 ia dinobatkan oleh kesultanan Kutai sebagai Tumenggung Kerajaan Kutai. Dalam pemerintahan Indonesia, suami dari Aji Maisarah gelar Aji Raden Puspo Kesumo ini memulainya selaku Bupati yang diperbantukan pada Gubernur Kalimantan. Setelah itu, menjadi Residen Kaltim, sebagai tangga pertama mulai memimpin pemerintahan sipil di Kaltim. Ketika daerah Provinsi Kaltim pertama dibentuk 1 Januari 1957, APT Pranoto, masih menjabat sebagai Residen dengan memangku jabatan Gubernur Kaltim. Dan adanya Undang-undang pemisahan pemerintahan pusat dan pemerintahan otonomi daerah pada saat itu, dia menjadi Gubernur pertama Kaltim, dan selaku Kepala Daerah IA Moeis yang sekarang diabadikan menjadi nama RSUD kota Samarinda.
=====================================
Djawoto
Mantan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).
Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam) berasal dari keluarga pangreh praja.

Menjadi guru
Setelah menamatkan sekolah menengahnya, Djawoto mengikuti kursus guru dan kemudian ia menjadi guru di berbagai sekolah swasta antara lain di Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara, Pamong Putra dan Tjahaja Kemadjuan, di Kepu, Jakarta. Ia mengabdikan dirinya sebagai guru selama 15 tahun.

Terjun ke dunia politik
Pada tahun 1927 ia tinggal di Makassar dan menjadi sekretaris PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto cabang Makassar. Namun tak lama kemudian ia pindah dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Makassar.

Terjun ke dunia pers
Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktek" adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari. Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan Jepang. Selama Perang Dunia II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita "Domei", satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan Jepang. Pada tahun 1945 Kantor Berita "Antara" dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.
Bergabung di kubu Sosialis
Ketika PNI dibubarkan oleh Mr. Sartono, Djawoto bergabung dengan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) di bawah pimpinan Sjahrir. Dan setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Partai Sosialis yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Ia menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan dari partai tersebut. Ketika Partai Sosialis pecah pada bulan Februari 1948, kelompok Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) sementara kelompok Amir Sjarifuddin membentuk Partai Sosialis. Djawoto tidak memilih salah satu dari keduanya, melainkan memusatkan perhatian dan tenaganya pada Kantor Berita Antara.

Perjuangan
Pada masa revolusi kemerdekaan, Djawoto ikut aktif berjuang bersama-sama dengan para pemuda lainnya. Ia termasuk salah seorang yang bersama-sama dengan Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Pandu Karta Wiguna, Wikana, Supeno, Trimurti, Dr. Muwardi, Sudiro ("mBah"), Sutomo ("Bung Tomo"), Chailid Rasjidi, Maruto Nitimihardjo, dll. terlibat dalam "Peristiwa Rengasdengklok", yang memaksa Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karier Djawoto sebagai wartawan terus menanjak. Pada tahun 1950-an ia terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Ia dipilih kembali untuk jabatan tersebut pada kongres PWI di Makassar, 26 Mei 1961. Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.

Kiprah di dunia internasional
Pada tahun 1950-an Djawoto memimpin Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Sebagai ketua PWI pusat, pada 1962 Djawoto mengemukakan kepada Presiden Soekarno usul penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika di Bandung. Konferensi ini terselenggara pada 1965, sementara gagasan awalnya telah tercetus sejak Konferensi Asia Afrika pada 1955. Sebelumnya, pada 24 April 1963 ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).

Menjadi anggota DPR-GR dan MPRS
Djawoto diangkat menjadi anggota DPR-GR, anggota MPRS, anggota Pengurus Besar Front Nasional dan juga anggota Dewan Pertimbangan Pers (1963). Pada tahun 1964 ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Cina dan Republik Rakyat Mongolia yang berkedudukan di Beijing.

Terdampar di Beijing
Ketika G30S meletus, Djawoto dan keluarganya tidak kembali ke Indonesia karena khawatir keselamatan nyawanya terancam. Karena itu Djawoto dan keluarganya menetap di Beijing.
Setelah peristiwa G30S itu, Soekarno tersingkir dan terjadilah pembersihan besar-besaran di Indonesia atas semua orang yang pernah terlibat dalam pemerintahan Soekarno dan mereka yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI dan ormas-ormasnya. Pada 16 April 1966 Djawoto sendiri kemudian melepaskan jabatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Rakyat Mongolia. Pada tanggal 20 April 1966 memimpin sidang Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika di Beijing.
Setelah menetap di Tiongkok selama sekitar 15 tahun, Djawoto beserta keluarganya pindah ke Belanda pada 1979, hingga ia meninggal dunia pada 24 Desember 1992.

Keluarga
Djawoto menikah dengan Hasnah Sutan Diatas (meninggal dunia 4 November 2005), yang berasal dari Minangkabau dan dikaruniai empat orang anak: Djoko Martono, Ratna Aprilia, Ratni Utami, dan Ratni Lestari.
==================================
Ipik Gandamana
Gubernur Jawa Barat 1956-1959
R.IPIK GANDAMANA( bapusipda.jabarprov.go.id )
--------------------
Ipik Gandamana (lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 30 November 1906) adalah gubernur Jawa Barat periode 1956-1959. Ipik dibesarkan di Banten. Perjalanan karier kedinasannya berawal sebagai CA (candidate ambtenar) di zaman pendudukan Jepang dan ditempatkan di Bogor selama dua tahun, Kemudian menjadi Mantri Polisi di Cikijing, menjadi Mantri Kabupaten Jakarta tahun 1931. Patih Bogor tahun 1946, Bupati Bogor 1948-1949 merangkap Bupati Lebak serta menjadi Gubernur Jawa Barat (1956-1960).
Nama                    : R. IPIK GANDAMANA
Tempat/Tgl. Lahir : Purwakarta, 30 November 1906
Agama                  : Islam
Nama Istri              : Hj. Ikoh Sabkijah

RIWAYAT PENDIDIKAN/KURSUS
1.      ELS
2.      MULO
3.      OSAVIA A dan B di Serang 1926

CAGAR BUDAYA:
Inilah Pendopo Bupati Bogor Pertama, Ipik Gandamana.IST

RIWAYAT PEKERJAN/JABATAN
Candidat Abtenar (CA) pada zaman Jepang
Mantri Pulisi di Cikijing 1928
Mantri Kabupaten Jakarta
Ajun Sekretaris Kabupaten
Sekretaris  II Kabupaten Ciamis 1938
Camat Cibeuereum Tasikmalaya
Wadana Ujung Berung
Patih Bogor 1946
Bupati Bogor 1948-1949
Wakil Gubernur Jawa Barat merangkap Bupati Lebak
Diperbantukan di KMD IV/DJ.B selaku Kepala Staf Sipil Keresidenan Bogor
Residen Bogor
Residen Priangan 1951-1955
Anggota DPR RI dari IPKI di Jawa Barat
Gubernur Jawa Barat I Juli 1957-1960 ( 1956-1959 )
Mendagri 1959-1964
Ketua Presidium UNDAP

BINTANG JASA DAN PENGHARGAAN
1.          Bintang Jasa Gerilya, 10 November 1958
2.          Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan 20 Mei 1961
3.          Satya Lencana Karya Tingkat I 14 Agustus 1961
LAIN-LAIN
Mendirikan Universitas Padjadjaran
======================================
Syukri Ghozali
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1981-1984
Syukri Ghozali (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 6 Desember 1906 – meninggal di Jakarta, 20 September 1984 pada umur 77 tahun) adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1981-1984. Ia diangkat sebagai Ketua MUI menggantikan Buya HAMKA. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta. Kiai asal Salatiga ini hanya sempat memimpin MUI selama dua tahun, kemudian beliau digantikan Hasan Basri.
======================================
Abu Hanifah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 1949 - 1950
Abu Hanifah (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 6 Januari 1906 – meninggal di Jakarta, 4 Januari 1980 pada umur 73 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1949 hingga tahun 1950 dalam Kabinet RIS. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Duta Besar untuk Brazil.
=========================================
Hazairin
Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Prof. Dr. Hazairin (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 28 November 1906 – meninggal di Jakarta, 11 Desember 1975 pada umur 69 tahun) adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

Asal usul
Hazairin lahir di tengah-tengah keluarga taat beragama, dari pasangan Zakaria Bahri (Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau). Ayahnya adalah seorang guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.[1]

Kehidupan
Hazairin menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge School) pada tahun 1936, dengan gelar doktor hukum adat. Setamat kuliah, Hazairin bekerja sebagai kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, Hazairin juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, dia diberikan gelar "Pangeran Alamsyah Harahap." Pada April 1946, dia diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan. Ketika menjabat sebagai residen, dia mengeluarkan uang kertas yang dikenal sebagai "Uang Kertas Hazairin." Sesudah revolusi fisik berakhir, dia diangkat menjadi Kepala Bagian Hukum Sipil Kementerian Kehakiman.
Hazairin terjun di kancah perpolitikan Indonesia, dengan ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bersama Wongsonegoro dan Rooseno, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebagai wakil Partai PIR. Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955). Pada Pemilu 1955, Partai PIR terpecah menjadi dua, yakni PIR - Wongsonegoro dan PIR - Hazairin. Dalam pemilihan tersebut, PIR - Hazairin hanya memperoleh 114.644 suara atau setara dengan satu kursi.[2] Selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Dia juga menjadi Guru Besar di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Hazairin dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, pada tahun 1999 Pemerintah mengukuhkan Hazairin sebagai Pahlawan Nasional.[3]

Karya
Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)
Tujuh Serangkai Tentang Hukum (1981)
Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits (1982)
Hendak Kemana Hukum Islam (1976)
Perdebatan dalam Seminar Hukum tentang Faraidhh (1963)
Hukum Kekeluargaan Nasional
Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Hukum Pidana Islam Ditinjau dari Segi-segi, dan Asas-asas Tata Hukum Nasional; Demokrasi Pancasila (1970)
Negara Tanpa Penjara (1981)
Hukum Baru di Indonesia (1973)
Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat (1973)
Demokrasi Pancasila (1981)
========================================
Teuku Muhammad Hasan
Gubernur Wilayah Sumatera Pertama
Teuku Muhammad Hasan adalah Gubernur Wilayah Sumatera Pertama[1] setelah Indonesia merdeka , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat[2]. Selain itu ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Kehidupan Awal
Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak.
Dia bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917. Pada tahun 1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS), dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (sekarang Jakarta). Kemeudian beliau masuk Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Masa-masa di Belanda
Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, beliau bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktifis yang mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda. Hasan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) tahun 1933.

Kembali ke Tanah Air
Pada tahun 1933, Mr. T.M Hasan kembali ke Indonesia. Setiba di pelabuhan Ulee Lheue, Kutaraja, buku-bukunya disita untuk pemeriksaan karena dicurigai terdapat buku paham pergerakan yang akan membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda, khususnya di Aceh. Selama di Kutaraja, Hasan menjadi Pegiat di bidang Agama dan Pendidikan.
Di bidang agama, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah sebagai konsul di bawah pimpinan R.O. Armadinata. Pada era ini, Muhammadiyah berhasil mendirikan perkumpulan perempuan yakni Aisyiyah, Hizbul Wathan, dan sebuah lembaga pendidikan setimgkat Hollandsch-Inlandsche School atau HIS. Perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah juga mendirikan cabang-cabang di beberapa kota lain di Aceh. Tercatat pada masa akhir Pemerintahan Belanda di Aceh (1942), jumlah cabang Muhammadiyah di Aceh sebanyak 8 (delapan) buah. Selain aktif di Muhammadiyah, Hasan juga aktif dalam dunia pendidikan. Ia ikut mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.
Selain itu, Hasan juga menjadi komisaris organisasi pendidikan yang bernama Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche School.
Aktifitas kependidikan Hasan yang lain ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini, Hasan menjadi ketua dengan sekretaris Teuku Nyak Arief. Sesaat setelah pembentukannya, Hasan mengirim utusannya yaitu, T.M. Usman el Muhammady untuk menemui Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Tujuannya adalah memohon agar Taman Siswa memperluas jaringannya, yakni dengan mendirikan cabang di Aceh. Berdasarkan permohonan tersebut, Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu yang relatif singkat, Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja berhasil membuka 4 (empat) sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa. Berkat pengalaman di bidang pendidikan tersebut, Hasan memutuskan pergi ke Batavia dan bekerja sebagai pengawai di Afdeling B, Departemen Van Van Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan). Selain itu, ia juga pernah menjadi pegawai di kantor Voor Bestuurshervarming Buintengewesten. Kemudian pada tahun 1938, Hassan kembali lagi ke Medan untuk bekerja pada kantor Gubernur Sumatera sampai tahun 1942. Pada era penjajahan Jepang ini, yakni antara tahun 1942 sampai 1945, Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai Ketua Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasehat dan Pengawas Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan kepada Gunsaibu) di Medan. Ketika Jepang hendak angkat kaki dari Aceh tahun 1945, Hasan adalah sedikit dari tokoh-tokoh Aceh yang memiliki kesadaran kebangsaan dan bersedia bergabung dengan para nasionalis di Jakarta.
Pada 7 Agustus 1945 Mr. Teuku Muhammad Hasan dipilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno[3].

Gubernur Sumatera Pertama
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mr. Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatera I pada tanggal 22 Agustus 1945 dengan ibukota provinsi di Medan[4].

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Teuku Muhammad Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:
Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
Mr. Teuku Muhammad Hasan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Nasionalisasi Perusahaan Perminyakan
Pada tahun 1951, sebagai ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara), Mr. T. M Hasan mengadakan suatu penelitian yang akhirnya menyimpulkan dua hal penting:
Terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran.
Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku.
Hasil penelitiannya tersebut kemudian diusulkan dalam sebuah mosi yang didukung oleh kabinet dan diterima secara aklamasi pada tanggal 2 Agustus 1951.
Mosi tersebut berbunyi antara lain[5]:
Mendesak kepada pemerintah untuk dalam jangka waktu satu bulan membentuk sebuah Komisi Negara tentang masalah minyak, dengan tugas:
Segera melakukan penyelidikan terhadap masalah pengolahan minyak, timah, batu bara, emas, perak, dan hasil tambang lainnya.
Membuat rencana undang-undang perminyakan yang serasi dengan keadaan yang berlaku sekarang.
Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai sikap yang patut diambil pemerintah berkenaan dengan status tambang minyak di Sumatera Utara pada khususnya dan pertambangan lain pada umumnya.
Membantu pemerintah dengan usul-usul pertambangan di Indonesia.
Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai pajak produksi bahan minyak dan ketentuan harga.
Mengajukan usul-usul lain berkenaan dengan masalah pertambangan guna meningkatkan penghasilan negara, menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga bulan dan menyerahkannya kepada pemerintah dan parlemen. Mendesak kepada pemerintah supaya menunda pemberian konsesi dan izin eksplorasi baru sampai tugas yang diberikan kepada Komisi Negara tentang masalah pertambangan selesai. Dalam mosi tersebut juga diusulkan agar pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali Indische Mijn Wet 1899, undang-undang kolonial yang masih tetap dipakai sebagai dasar pengelolaan minyak di Indonesia. IMW dianggap tidak sesuai lagi dengan azas-azas pokok pemikiran bangsa Indonesia[6]. Untuk memenuhi mosi tersebut pada tanggal 13 September 1951 pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan IMW 1899[7]. Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga Besar (Shell, Stanvac dan Caltex)[8] pada hakekatnya menerima lima kali lebih banyak dari pada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100 per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mr. T. M Hasan, perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos operasinya secara tidak wajar. Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Mereka mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi akan bisa di mark-up menjadi lebih tinggi. Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos perusahaan minyak asing tercengang dan tidak berani bersuara.[9][10].
Efek dari mosi ini adalah dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP), dan pada Maret 1956 Mr. T.M. Hasan ditunjuk sebagai ketua[11], dan berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961). Kedua perusahaan ini pada tahun 1968 digabung menjadi Pertamina.[12]. [13]

Kehidupan Berikutnya
Mr. Teuku Muhammad Hasan mendirikan Universitas Serambi Mekkah di Banda Aceh[14], dan menulis buku. Salah satu bukunya adalah Sejarah Perminyakan di Indonesia (diterbitkan oleh Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985)[15].

Penghargaan
Pada tahun 1990, Universitas Sumatera Utara menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa[16]. Mr. Teuku Muhammad Hasan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006[17].
Sebuah jalan di Banda Aceh dinamakan Jalan Mr. Teuku Muhammad Hasan[18].

Bibliografi
(Indonesia) Muhammad Ibrahim (Drs.) (1983) Mr. Teoekoe Moehammad Hasan, Karya dan Pengabdiannya Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional
(Indonesia) Teuku Muhammad Hasan (1985) Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional Jakarta: Sari Pinang Sakti.
(Indonesia) Dwi Purwoko (1995) Dr. Mr. T. H. Moehammad Hasan Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa, Jakarta: Sinar Harapan
(Indonesia) Irma Widyani Roring (2000) Teuku Moehammad Hasan: Perjalanan yang Memberi Mahkota Jakarta: Puri Ratnawangsa Media.